25 Mei 2009

EPISTEMOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya filsafat memiliki tiga pilar utama dalam perkembangannya selama ini. Ketiga pilar tersebut adalah ontologi, epistemolog dan yang terakhir adalah aksiologi. Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu(ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut(epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan itu digunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia (Suriasumantri, 1988).

Tidak semua pilar tesebut dapat dibahas di sini karena pembahasan yang seperti itu membutuhkan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif yang mungkin tidak habis dikupas dalam satu atau dua jilid buku filsafat. Penyusun makalah ini ingin sekedar mengenalkan salah satu dari tiga pilar tersebut yaitu epistemologi dengan alasan penyusun makalah sangat tertarik dengan bagaimana suatu pengetahuan (jika memang benar-benar ada) dapat muncul dan diyakini keberadaannya bahkan kebenarannya oleh manusia.

Titik berat dari pembahasan ini adalah memberikan gambaran mengenai apa itu epistemologi, bagaimana cara kerjanya atau metode pendekatannya, mengapa dipelajari dan pembagian dari epistemologi itu sendiri. Tentu saja pembahasan ini tidak akan lepas dari pendapat-pendapat filsuf-filsuf kenamaan yang jauh lebih dulu mengulik epistemologi dengan kerangka pikir mereka. Tak dapat dipungkiri bahwa dengan ruang yang terbatas ini, hakikat epistemologi tidak mungkin tergambarkan seutuhnya namun paling tidak, prinsip-prinsip pokok yang melekat di dalamnya dapat diuraikan secara singkat namun mengena. Untuk mengawali pembahasan ini mari kita renungkan makna dari ungkapan berikut “seseorang belum tentu tahu apa yang yang ia tahu dan apa yang ia tidak tahu belum tentu ia ketahui”.


BAB II

PENGENALAN EPISTEMOLOGI DASAR

A. Pengertian Dasar

Apakah arti dari epistemologi? Mungkin hal itulah yang harus dijawab pertama kali dalam pembahasan ini. Istilah “epistemologi” muncul dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berari perkataan, pikiran atau ilmu. Kata episteme dalam bahasa Yunani memiliki kata kerja epistamai yang artinya mendudukkan, menempatkan atau meletakkan. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud untuk mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana cara untuk menguji dan memperoleh suatu kebenaran pada dasarnya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui sesuatu? Epistemologi juga secara kritis bermaksud untuk mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba untuk memberi pertangungjawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektifitasnya. Epistemologi atau filsafat pengetahuan juga merupakan upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya.

Epistemologi dalah suatu ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilik apakah suatu keyakinan, sikap dan pernyataan pendapat teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukuran, dalam hal ini tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberikan deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tapi perlu membuat penentuan mana yang betul dan mana yang keliru menurut norma epistemik. Arti dari kritis sendiri adalah banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui (Sudarminta, 2002:18-19). Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata cara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model‑model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai­mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori ko­herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

B. Cara Kerja Epistemologi

Cara kerja epistemologi atau metode pendekatan epistemologi berhubungan dengan ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi obyek kajian ilmu filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu psikologi kognitif dan sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat secara umum dari dari ilmu-ilmu lain bukanlah objek materianya atau apa yang dijadikan bahan kajian, tapi objek formal atau cara pendekatannya.

Epistemologi bukan hanya berurusan dengan pernyataan atau pertimbangan, tetapi epistemologi benar-benar berurusan dengan pertanyaan mengenai dasar dan pertimbangan. Nilai kebenaran harus diputuskan berdasarkan evidensi, dan keterlibatan epistemologi yang sebenarnya adalah dengan persoalan evidensi. Persoalan ini lebih luas daripada persoalan pertimbangan. Persoalan mengenai evidensi bukanlah melulu persoalan mengenai penerapan konsep-konsep inderawi mengenai objek-objek partikular. Kecenderungan umum untuk memperlakukan ide, pertimbangan dan penalaran sebagai hal yang bersifat kognitif, sementara segi-segi lain dari pengalaman dianggap tidak relevan secara kognitif (Galagher, 1994:26).

Jadi untuk menjelaskan bagaimana cara kerja epistemologi dapat dijelaskan melalui beberapa pertanyaan berikut. Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya? Apa beda antara pengetahuan dan pendapat? Apa beda antara pengetahuan dan kepercayaan? Bagaimana proses manusia mengetahui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi dan pikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Apa peran imajinasi, introspeksi, intuisi, ingatan, persepsi indrawi, konsep, dan putusan dalam kegiatan manusia mengetahui? Apa artinya dan mana tolok ukurnya untuk dapat secara rasional dan bertanggung jawab menyatakan bahwa “saya tahu sesuatu”? Sungguhkah manusia dapat tahu? Bukankah, sering terjadi bahwa orang merasa dirinya yakin mengetahui sesuatu tapi ternyata keliru? dan masih banyak lagi pertanyaan dasar dalam ranah epistemologi (Sudarminta, 2002:20).

Persoalan metode ini merupakan pokok terakhir pengenalan terhadap epistemologi dan tidak perlu terlalu detil. Filsafat pengetahuan, sebagai usaha untuk menafsirkan nilai kognitif pengalaman, tidak boleh terlalu dibebani oleh tetek bengek terminologi teknis atau oleh pengandaian-pengandaian suatu sistem filosofis tertentu. Epistemologi harus menatap pengalaman selangsung mungkin dan harus menggunakan bahasa sehari-hari (Gallagher, 1994:27).

C. Mengapa Epistemologi Dipelajari?

Munculnya kesadaran untuk mempelajari epistemologi dan juga alasan mengapa Epistemologi patut dipelajari dapat dikategorikan menjadi empat alasan pokok.

  1. Kekaguman/Ketakjuban.

Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia pada kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin mengenai hal itu sehinga dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tapi benar-benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri. Bukan tanpa alasan bahwa dia disebut tuan dari mereka yang tahu.

Tetapi dua generasi sebelumnya, Socrates telah meniti karir filosofisnya sendiri beralaskan pada suatu dasar yang agak berbeda, yaitu keyakinan bahwa tak seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan. Pernyataan Delphi bahwa “tak ada manusia hidup yang lebih bijaksana dari Socrates” diinterpretasikan sebagai berikut: tidak ada manusia mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang-orang lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Socrates sendiri yang tahu bahwa dia tidak tahu.

Sepintas tampak dua pandangan yang saling bertentangan mengenai keadaan manusia: di satu pihak, suatu afirmasi atau penegasan atas keinginan umum untuk tahu dan keinginan itu dapat diwujudkan. Di lain pihak, suatu pernyataan menegaskan mengenai ketidaktahuan umum sebagai kenyataan kodrati manusia. Namun kita bisa menemukan titik temu antara keduanya.

Menurut Plato, filsafat dimulai dari rasa kagum. Tidak ada seorang pun yang dapat berfilsafat kalau dia tidak bisa kagum. Rasa kagum yang dibicarakan di sini tidak boleh disamakan dengan ‘keingin-tahuan’ dalam pengertian umum. Rasa kagum ini juga tidak bisa disamakan dengan kepanikan orang yang bingung sewaktu melihat suatu mesin canggih misalnya mekanisme IBM 705 atau kerjanya suatu molekul karbon. Rasa kagum filosofis terutama bukanlah kekaguman terhadap hal yang canggih dan rumit, tetapi terhadap sesuatu yang sederhana, yang tampaknya jelas di dalam pengalaman harian. Di dalam khazanah kehidupan biasa dan harianlah bahwa pertanyaan-pernyatan filosofis muncul dan terus hadir.

Dalam pengertian lain, terdapat pokok tertentu yang menjadi objek epistemologi sendiri sebagai suatu manifestasi dari penyelidikan filosofis. Dalam pengertian ini, Descartes benar-benar membuka suatu zaman yang sama sekali baru dalam sejarah dunia pemikiran. Sebab usaha Descartes ini merintis tahap di mana kekaguman filosofis sendirilah yang dijadikan objek penyelidikannya. Daripada sekedar mengagumi kenyataan perubahan atau waktu atau diri, filsafat mengagumi penge-tahu-an sendiri. Pernyataan manusia kembali kepada dirinya sendiri. Zaman baru dimulai sewaktu Descartes menjadikan usahanya untuk mengetahui sendiri sebagai objek penyelidikan lebih lanjut: bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu? Apa hak saya untuk bertanya? Mungkin rasa kagumku tidak mempunyai hak untuk ada, mungkin tak ada gunanya, dan saya selamanya tertutup dari kenyataan yang saya usahakan untuk saya pahami.

  1. Akal Sehat

Di sini epistemologi bukan hanya mungkin tetapi mutlak perlu. Suatu pikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan dengan kembali kepada jaminan anggapan umum, tetapi justru semakin mendesak maju ke tingkat yang baru. Kepastian yang sekarang dicari oleh epistemologi dimungkinkan oleh suatu keraguan. Terhadap keraguan ini, epistemologi merupakan obatnya. Maka epistemologi pada dasarnya bersifat reflektif. Setiap anggapan umum dapat dijadikan pertanyaan reflektif. Bila epistemologi berhasil mengusir keraguan ini, kita mungkin menemukan kepastian reflektif yang lebih pantas dianggap sebagai pengetahuan.

  1. Kesangsian/Skeptisisme

Posisi dari seorang skeptik absolute merupakan hal yang paling rapuh dalam seluruh bidang filsafat. Menurut seorang skeptik absolut, pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran objektif. Namun sayang bagi orang itu, sebab justru usahanya untuk menyatakan keyakinannya sendiri melibatkan penyangkalan terhadap keyakinannya itu. Sebab sesungguhnya ia berpendapat bahwa sekurang-kurangnya ada satu pertimbangan yang pasti benar secara objektif, yaitu pertimbangannya. Menurutnya, secara objektif manusia tidak dapat mengetahui kebenaran objektif; ia yakin bahwa ia tidak dapat yakin. Kedudukan skeptik merupakan penyangkalan diri dan secara harfiah telah terbukti sepenuhnya absurd.

Meskipun sanggahan terhadap skeptisisme cenderung bernada negatif, tetapi mempunyai akibat positif. Sebab apa yang dinyatakan oleh pendapat Gilson ialah: pada tahap tertentu pikiran secara niscaya melekat pada ada sedemikian rupa, hingga kelekatan ini tidak dapat disangkal. Maka kita sampai pada nilai tanpa syarat dari pernyataan, bila kita menyadari bahwa tidak mungkinlah menyatakan ketidakmampuan kita untuk menyatakan.

Relativisme Protagoras mungkin merupakan pendapat skeptik yang paling ekstrim. Doktrin homo mensura mengatakan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Doktrin itu merupakan usaha untuk membatasi semua pernyataan kepada orang yang membuatnya, sebagaimana apa yang terasa enak bagi seseorang belum tentu enak bagi yang lain demikian juga mengenai apa yang benar bagi seseorang belum tentu benar bagi yang lain.

  1. Aspek Eksistensial

Pengetahuan manusia merupakan fungsi dari cara beradanya, dan cara beradanya pada hakikatnya bersifat temporal. Eksistensi manusia selalu belum-terpenuhi: ia adalah makhluk yang tidak selesai, yang berada dalam proses pembentukan diri. Keberadaan manusia tidaklah sama dengan keberadaan batu. Ada benda-benda yang melulu identik dengan dirinya sendiri, lengkap, seutuhnya terwujudkan, tegas, tanpa cacat di dalam eksistensinya. Mereka adalah mereka. Baik Kierkegaard maupun Satre menekankan bahwa manusia tidak identik dengan dirinya: ia harus menjadi dirinya sendiri. Menjadi manusia tidaklah hanya menjadi identik dengan dirnya sendiri, sebagaimana batu, meja atau atom. Eksistensi manusia terbuka bagi masa depan karena juga terbuka bagi masa sekarang; manusia sesaat pun tidak pernah seutuhnya identik dengan dirinya sendiri, memiliki keberadaannya sendiri.

D. Pembagian Epistemologi

Pembagian epistemologi menurut cara kerja atau metode pendekatan yang diambil dapat digolongkan menjadi tiga macam.

  1. Epistemologi metafisis

Epistemologi macam ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Misalnya Plato meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami di dunia ini adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide. Bertitik-tolak dari paham tentang kenyataan seperti itu, Plato dalam epistemologinya memahami kegiatan mengetahui sebagai kegiatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Plato juga lalu secara tegas membedakan antara pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat obyektif, universal dan tetap tak berubah, serta pendapat (doxa), sebagai sesuatu yang bersifat subjektif, partikular dan berubah-ubah.

  1. Epistemologi Skeptis

Dalam epistemologi semacam ini yang misalnya dikerjakan oleh Descartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu dengan yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk dalam skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemukan jalan keluar. Apalagi seluruh kegiatan Epistemologi sendiri sebenarnya sejak awal mengandaikan bahwa ada pengetahuan dan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu.

  1. Epistemologi kritis

Epistemologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur, dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu kita tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersebut. Keyakinan-keyakinan dan pendapat yang ada kita jadikan data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk kita uji kebenarannya di hadapan pengadilan nalar. Sikap kritis diperlukan pertama-tama berani mempertanyakan apa yang selama ini sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa rasio.

Epistemologi dapat juga dibagi menjadi dua bagian menurut objek ang dikaji: epistemologi individual dan epistemologi sosial. Dalam epistemologi individual, kajian mengenai bagaimana struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui, misalnya, dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Epistemologi evolusioner dan epistemologi natural termasuk dalam jenis epistemologi individual. Sedangkan epistemologi sosial adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis. Bagi epistemologi sosial, hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan.


BAB IV

PENUTUP

Setidaknya empat hal yang dijanjikan pada pendahuluan sudah diuraikan secara singkat dalam pembahasan diatas. Pertanyaan tentang apa itu epistemologi, bagaimana cara kerjanya, mengapa dipelajari dan juga pembagiannya telah dikupas walaupun secara sederhana.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah: untuk menguasai suatu pengetahuan memang selain kita tahu apa hakikat pengetahuan tersebut (ontologis), kita juga harus tahu bagaimana cara pengetahuan itu didapat (epistemologis). Dari dasar itulah kita ketahui bahwa kerangka-kerangka pikir yang terbentuk selalu tersusun dari pondasi kerangka pikir yang sudah ada sebelumnya. Tingkat ke-baru-an dan ke-asli-an suatu teori maupun ilmu, dengan keyakinan tersebut di atas akan sangat relative dalam penilaiannya dan bahkan dapat dikatakan bahwa mustahil orang dapat menemukan sesuatu yang seratus persen orisinil.

Semakin kita mendalami filsafat, atau dalam hal ini epistemologi, semakin kita menyadari bahwa apa yang kita tahu adalah benar. Bahkan kita juga kadang harus mulai waspada, apakah kita benar-benar tahu atau sekedar kita berpersepsi bahwa kita tahu sesuatu. Epistimologi adalah penawar ketakjuban terhadap fenomena sehari-hari, keberadaan akal sehat, kesangsian atas realita dan juga keberadaan atau eksistensi manusia itu sendiri. Mungkin sampai akhir hayat kita ataupun di akhir peradaban manusia masih banyak pertanyaan-pertanyaan yan belum bisa dijawab oleh para ilmuwan. Namun di situlah hakikat manusia sebagai organisme pemikir yang selalu bertanya-tanya walaupun tahu bahwa pertanyaan itu jika ditelusuri tak akan pernah ada ujungnya.

Pada akhirnya, penyusun ingin menyampaikan bahwa filsafat sebagai pengetahuan diharapkan tidak hanya sebagai ilmu pelengkap bagi disiplin ilmu yang lainnya namun juga bisa bertindak sebagai ilmu yang “independent” yang memiliki fungsi aplikatif di kehidupan manusia.


REFERENSI

Gallagher, Kenneth T.1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Leahy, Louis.2002.Horizon Manusia: dari pengetahuan ke kebijaksanaan. Yogyakarta: Kanisius.

Magnis, Frans-Suseno SJ.1992.Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.Yogyakarta: Kanisius.

Osborne, Richard.2001.Filsafat untuk Pemula.Yogyakarta:Kanisius.

Poedjawijatna, I.R.2002.Pembimbing ke Arah Alam Filsafat.Jakarta:Rineka Cipta.

Rand, Ayn.1979. Pengantar Epistemologi Obyektif.Yogyakarta: Bentang Budaya.

Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar: pengantar filsafat pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Woodhouse, Mark B.2000.Berfilsafat: sebuah langkah awal. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar