25 Mei 2009

EPISTEMOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya filsafat memiliki tiga pilar utama dalam perkembangannya selama ini. Ketiga pilar tersebut adalah ontologi, epistemolog dan yang terakhir adalah aksiologi. Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu(ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut(epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan itu digunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia (Suriasumantri, 1988).

Tidak semua pilar tesebut dapat dibahas di sini karena pembahasan yang seperti itu membutuhkan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif yang mungkin tidak habis dikupas dalam satu atau dua jilid buku filsafat. Penyusun makalah ini ingin sekedar mengenalkan salah satu dari tiga pilar tersebut yaitu epistemologi dengan alasan penyusun makalah sangat tertarik dengan bagaimana suatu pengetahuan (jika memang benar-benar ada) dapat muncul dan diyakini keberadaannya bahkan kebenarannya oleh manusia.

Titik berat dari pembahasan ini adalah memberikan gambaran mengenai apa itu epistemologi, bagaimana cara kerjanya atau metode pendekatannya, mengapa dipelajari dan pembagian dari epistemologi itu sendiri. Tentu saja pembahasan ini tidak akan lepas dari pendapat-pendapat filsuf-filsuf kenamaan yang jauh lebih dulu mengulik epistemologi dengan kerangka pikir mereka. Tak dapat dipungkiri bahwa dengan ruang yang terbatas ini, hakikat epistemologi tidak mungkin tergambarkan seutuhnya namun paling tidak, prinsip-prinsip pokok yang melekat di dalamnya dapat diuraikan secara singkat namun mengena. Untuk mengawali pembahasan ini mari kita renungkan makna dari ungkapan berikut “seseorang belum tentu tahu apa yang yang ia tahu dan apa yang ia tidak tahu belum tentu ia ketahui”.


BAB II

PENGENALAN EPISTEMOLOGI DASAR

A. Pengertian Dasar

Apakah arti dari epistemologi? Mungkin hal itulah yang harus dijawab pertama kali dalam pembahasan ini. Istilah “epistemologi” muncul dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berari perkataan, pikiran atau ilmu. Kata episteme dalam bahasa Yunani memiliki kata kerja epistamai yang artinya mendudukkan, menempatkan atau meletakkan. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud untuk mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana cara untuk menguji dan memperoleh suatu kebenaran pada dasarnya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui sesuatu? Epistemologi juga secara kritis bermaksud untuk mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba untuk memberi pertangungjawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektifitasnya. Epistemologi atau filsafat pengetahuan juga merupakan upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya.

Epistemologi dalah suatu ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilik apakah suatu keyakinan, sikap dan pernyataan pendapat teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukuran, dalam hal ini tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberikan deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tapi perlu membuat penentuan mana yang betul dan mana yang keliru menurut norma epistemik. Arti dari kritis sendiri adalah banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui (Sudarminta, 2002:18-19). Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata cara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model‑model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai­mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori ko­herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

B. Cara Kerja Epistemologi

Cara kerja epistemologi atau metode pendekatan epistemologi berhubungan dengan ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi obyek kajian ilmu filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu psikologi kognitif dan sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat secara umum dari dari ilmu-ilmu lain bukanlah objek materianya atau apa yang dijadikan bahan kajian, tapi objek formal atau cara pendekatannya.

Epistemologi bukan hanya berurusan dengan pernyataan atau pertimbangan, tetapi epistemologi benar-benar berurusan dengan pertanyaan mengenai dasar dan pertimbangan. Nilai kebenaran harus diputuskan berdasarkan evidensi, dan keterlibatan epistemologi yang sebenarnya adalah dengan persoalan evidensi. Persoalan ini lebih luas daripada persoalan pertimbangan. Persoalan mengenai evidensi bukanlah melulu persoalan mengenai penerapan konsep-konsep inderawi mengenai objek-objek partikular. Kecenderungan umum untuk memperlakukan ide, pertimbangan dan penalaran sebagai hal yang bersifat kognitif, sementara segi-segi lain dari pengalaman dianggap tidak relevan secara kognitif (Galagher, 1994:26).

Jadi untuk menjelaskan bagaimana cara kerja epistemologi dapat dijelaskan melalui beberapa pertanyaan berikut. Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya? Apa beda antara pengetahuan dan pendapat? Apa beda antara pengetahuan dan kepercayaan? Bagaimana proses manusia mengetahui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi dan pikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Apa peran imajinasi, introspeksi, intuisi, ingatan, persepsi indrawi, konsep, dan putusan dalam kegiatan manusia mengetahui? Apa artinya dan mana tolok ukurnya untuk dapat secara rasional dan bertanggung jawab menyatakan bahwa “saya tahu sesuatu”? Sungguhkah manusia dapat tahu? Bukankah, sering terjadi bahwa orang merasa dirinya yakin mengetahui sesuatu tapi ternyata keliru? dan masih banyak lagi pertanyaan dasar dalam ranah epistemologi (Sudarminta, 2002:20).

Persoalan metode ini merupakan pokok terakhir pengenalan terhadap epistemologi dan tidak perlu terlalu detil. Filsafat pengetahuan, sebagai usaha untuk menafsirkan nilai kognitif pengalaman, tidak boleh terlalu dibebani oleh tetek bengek terminologi teknis atau oleh pengandaian-pengandaian suatu sistem filosofis tertentu. Epistemologi harus menatap pengalaman selangsung mungkin dan harus menggunakan bahasa sehari-hari (Gallagher, 1994:27).

C. Mengapa Epistemologi Dipelajari?

Munculnya kesadaran untuk mempelajari epistemologi dan juga alasan mengapa Epistemologi patut dipelajari dapat dikategorikan menjadi empat alasan pokok.

  1. Kekaguman/Ketakjuban.

Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia pada kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin mengenai hal itu sehinga dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tapi benar-benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri. Bukan tanpa alasan bahwa dia disebut tuan dari mereka yang tahu.

Tetapi dua generasi sebelumnya, Socrates telah meniti karir filosofisnya sendiri beralaskan pada suatu dasar yang agak berbeda, yaitu keyakinan bahwa tak seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan. Pernyataan Delphi bahwa “tak ada manusia hidup yang lebih bijaksana dari Socrates” diinterpretasikan sebagai berikut: tidak ada manusia mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang-orang lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Socrates sendiri yang tahu bahwa dia tidak tahu.

Sepintas tampak dua pandangan yang saling bertentangan mengenai keadaan manusia: di satu pihak, suatu afirmasi atau penegasan atas keinginan umum untuk tahu dan keinginan itu dapat diwujudkan. Di lain pihak, suatu pernyataan menegaskan mengenai ketidaktahuan umum sebagai kenyataan kodrati manusia. Namun kita bisa menemukan titik temu antara keduanya.

Menurut Plato, filsafat dimulai dari rasa kagum. Tidak ada seorang pun yang dapat berfilsafat kalau dia tidak bisa kagum. Rasa kagum yang dibicarakan di sini tidak boleh disamakan dengan ‘keingin-tahuan’ dalam pengertian umum. Rasa kagum ini juga tidak bisa disamakan dengan kepanikan orang yang bingung sewaktu melihat suatu mesin canggih misalnya mekanisme IBM 705 atau kerjanya suatu molekul karbon. Rasa kagum filosofis terutama bukanlah kekaguman terhadap hal yang canggih dan rumit, tetapi terhadap sesuatu yang sederhana, yang tampaknya jelas di dalam pengalaman harian. Di dalam khazanah kehidupan biasa dan harianlah bahwa pertanyaan-pernyatan filosofis muncul dan terus hadir.

Dalam pengertian lain, terdapat pokok tertentu yang menjadi objek epistemologi sendiri sebagai suatu manifestasi dari penyelidikan filosofis. Dalam pengertian ini, Descartes benar-benar membuka suatu zaman yang sama sekali baru dalam sejarah dunia pemikiran. Sebab usaha Descartes ini merintis tahap di mana kekaguman filosofis sendirilah yang dijadikan objek penyelidikannya. Daripada sekedar mengagumi kenyataan perubahan atau waktu atau diri, filsafat mengagumi penge-tahu-an sendiri. Pernyataan manusia kembali kepada dirinya sendiri. Zaman baru dimulai sewaktu Descartes menjadikan usahanya untuk mengetahui sendiri sebagai objek penyelidikan lebih lanjut: bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu? Apa hak saya untuk bertanya? Mungkin rasa kagumku tidak mempunyai hak untuk ada, mungkin tak ada gunanya, dan saya selamanya tertutup dari kenyataan yang saya usahakan untuk saya pahami.

  1. Akal Sehat

Di sini epistemologi bukan hanya mungkin tetapi mutlak perlu. Suatu pikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan dengan kembali kepada jaminan anggapan umum, tetapi justru semakin mendesak maju ke tingkat yang baru. Kepastian yang sekarang dicari oleh epistemologi dimungkinkan oleh suatu keraguan. Terhadap keraguan ini, epistemologi merupakan obatnya. Maka epistemologi pada dasarnya bersifat reflektif. Setiap anggapan umum dapat dijadikan pertanyaan reflektif. Bila epistemologi berhasil mengusir keraguan ini, kita mungkin menemukan kepastian reflektif yang lebih pantas dianggap sebagai pengetahuan.

  1. Kesangsian/Skeptisisme

Posisi dari seorang skeptik absolute merupakan hal yang paling rapuh dalam seluruh bidang filsafat. Menurut seorang skeptik absolut, pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran objektif. Namun sayang bagi orang itu, sebab justru usahanya untuk menyatakan keyakinannya sendiri melibatkan penyangkalan terhadap keyakinannya itu. Sebab sesungguhnya ia berpendapat bahwa sekurang-kurangnya ada satu pertimbangan yang pasti benar secara objektif, yaitu pertimbangannya. Menurutnya, secara objektif manusia tidak dapat mengetahui kebenaran objektif; ia yakin bahwa ia tidak dapat yakin. Kedudukan skeptik merupakan penyangkalan diri dan secara harfiah telah terbukti sepenuhnya absurd.

Meskipun sanggahan terhadap skeptisisme cenderung bernada negatif, tetapi mempunyai akibat positif. Sebab apa yang dinyatakan oleh pendapat Gilson ialah: pada tahap tertentu pikiran secara niscaya melekat pada ada sedemikian rupa, hingga kelekatan ini tidak dapat disangkal. Maka kita sampai pada nilai tanpa syarat dari pernyataan, bila kita menyadari bahwa tidak mungkinlah menyatakan ketidakmampuan kita untuk menyatakan.

Relativisme Protagoras mungkin merupakan pendapat skeptik yang paling ekstrim. Doktrin homo mensura mengatakan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Doktrin itu merupakan usaha untuk membatasi semua pernyataan kepada orang yang membuatnya, sebagaimana apa yang terasa enak bagi seseorang belum tentu enak bagi yang lain demikian juga mengenai apa yang benar bagi seseorang belum tentu benar bagi yang lain.

  1. Aspek Eksistensial

Pengetahuan manusia merupakan fungsi dari cara beradanya, dan cara beradanya pada hakikatnya bersifat temporal. Eksistensi manusia selalu belum-terpenuhi: ia adalah makhluk yang tidak selesai, yang berada dalam proses pembentukan diri. Keberadaan manusia tidaklah sama dengan keberadaan batu. Ada benda-benda yang melulu identik dengan dirinya sendiri, lengkap, seutuhnya terwujudkan, tegas, tanpa cacat di dalam eksistensinya. Mereka adalah mereka. Baik Kierkegaard maupun Satre menekankan bahwa manusia tidak identik dengan dirinya: ia harus menjadi dirinya sendiri. Menjadi manusia tidaklah hanya menjadi identik dengan dirnya sendiri, sebagaimana batu, meja atau atom. Eksistensi manusia terbuka bagi masa depan karena juga terbuka bagi masa sekarang; manusia sesaat pun tidak pernah seutuhnya identik dengan dirinya sendiri, memiliki keberadaannya sendiri.

D. Pembagian Epistemologi

Pembagian epistemologi menurut cara kerja atau metode pendekatan yang diambil dapat digolongkan menjadi tiga macam.

  1. Epistemologi metafisis

Epistemologi macam ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Misalnya Plato meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami di dunia ini adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide. Bertitik-tolak dari paham tentang kenyataan seperti itu, Plato dalam epistemologinya memahami kegiatan mengetahui sebagai kegiatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Plato juga lalu secara tegas membedakan antara pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat obyektif, universal dan tetap tak berubah, serta pendapat (doxa), sebagai sesuatu yang bersifat subjektif, partikular dan berubah-ubah.

  1. Epistemologi Skeptis

Dalam epistemologi semacam ini yang misalnya dikerjakan oleh Descartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu dengan yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk dalam skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemukan jalan keluar. Apalagi seluruh kegiatan Epistemologi sendiri sebenarnya sejak awal mengandaikan bahwa ada pengetahuan dan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu.

  1. Epistemologi kritis

Epistemologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur, dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu kita tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersebut. Keyakinan-keyakinan dan pendapat yang ada kita jadikan data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk kita uji kebenarannya di hadapan pengadilan nalar. Sikap kritis diperlukan pertama-tama berani mempertanyakan apa yang selama ini sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa rasio.

Epistemologi dapat juga dibagi menjadi dua bagian menurut objek ang dikaji: epistemologi individual dan epistemologi sosial. Dalam epistemologi individual, kajian mengenai bagaimana struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui, misalnya, dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Epistemologi evolusioner dan epistemologi natural termasuk dalam jenis epistemologi individual. Sedangkan epistemologi sosial adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis. Bagi epistemologi sosial, hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan.


BAB IV

PENUTUP

Setidaknya empat hal yang dijanjikan pada pendahuluan sudah diuraikan secara singkat dalam pembahasan diatas. Pertanyaan tentang apa itu epistemologi, bagaimana cara kerjanya, mengapa dipelajari dan juga pembagiannya telah dikupas walaupun secara sederhana.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah: untuk menguasai suatu pengetahuan memang selain kita tahu apa hakikat pengetahuan tersebut (ontologis), kita juga harus tahu bagaimana cara pengetahuan itu didapat (epistemologis). Dari dasar itulah kita ketahui bahwa kerangka-kerangka pikir yang terbentuk selalu tersusun dari pondasi kerangka pikir yang sudah ada sebelumnya. Tingkat ke-baru-an dan ke-asli-an suatu teori maupun ilmu, dengan keyakinan tersebut di atas akan sangat relative dalam penilaiannya dan bahkan dapat dikatakan bahwa mustahil orang dapat menemukan sesuatu yang seratus persen orisinil.

Semakin kita mendalami filsafat, atau dalam hal ini epistemologi, semakin kita menyadari bahwa apa yang kita tahu adalah benar. Bahkan kita juga kadang harus mulai waspada, apakah kita benar-benar tahu atau sekedar kita berpersepsi bahwa kita tahu sesuatu. Epistimologi adalah penawar ketakjuban terhadap fenomena sehari-hari, keberadaan akal sehat, kesangsian atas realita dan juga keberadaan atau eksistensi manusia itu sendiri. Mungkin sampai akhir hayat kita ataupun di akhir peradaban manusia masih banyak pertanyaan-pertanyaan yan belum bisa dijawab oleh para ilmuwan. Namun di situlah hakikat manusia sebagai organisme pemikir yang selalu bertanya-tanya walaupun tahu bahwa pertanyaan itu jika ditelusuri tak akan pernah ada ujungnya.

Pada akhirnya, penyusun ingin menyampaikan bahwa filsafat sebagai pengetahuan diharapkan tidak hanya sebagai ilmu pelengkap bagi disiplin ilmu yang lainnya namun juga bisa bertindak sebagai ilmu yang “independent” yang memiliki fungsi aplikatif di kehidupan manusia.


REFERENSI

Gallagher, Kenneth T.1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Leahy, Louis.2002.Horizon Manusia: dari pengetahuan ke kebijaksanaan. Yogyakarta: Kanisius.

Magnis, Frans-Suseno SJ.1992.Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.Yogyakarta: Kanisius.

Osborne, Richard.2001.Filsafat untuk Pemula.Yogyakarta:Kanisius.

Poedjawijatna, I.R.2002.Pembimbing ke Arah Alam Filsafat.Jakarta:Rineka Cipta.

Rand, Ayn.1979. Pengantar Epistemologi Obyektif.Yogyakarta: Bentang Budaya.

Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar: pengantar filsafat pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Woodhouse, Mark B.2000.Berfilsafat: sebuah langkah awal. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

ALIH KODE DALAM PERCAKAPAN PARA MODEL DI EXIST’S MODELLING SEMARANG

1. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat bilingual, akan mudah ditemui orang-orang menggunakan lebih dari satu bangsa dalam percakapannya, hal itu bisa terjadi tergantung situasi dan kondisi serta tempat, seperti di kantor, sekolah, rumah, pasar, dan lain-lain.
Dalam beberapa masyarakat, orang lebih dominan menggunakan bahasa ibu (mother tangue) dari pada bahasa lainnya. Hal ini terjadi karena mereka akan merasa lebih nyaman dan akrab, terutama apabila berada di situasi yang non formal, namun jika situasi formal mereka lebih sering menggunakan bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Alih kode atau code switching sering terjadi di kalangan masyarakat bilingual ini, khususnya di Semarang. Para model Exist’s modelling sering menggunakan alih kode pada percakapan mereka baik antar sesama model maupun dengan pimpinan. Ditinjau dari latar belakang linguistic mereka semua model berasal dari Jawa, sehingga mereka akan sering alih kode guna kelancaran dalam berkomunikasi. Dalam percakapan mereka juga menggunakan bahasa gaul/bahasa prokem yang sering digunakan oleh para anak muda di Indonesia.

2. Batasan Masalah
Topik dari penelitian ini dibatasi pada jenis-jenis alih kode dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya code switching atau alih kode dalam percakapan para model Exist’s di Semarang. Fenomena alih kode terdiri dari alih kode internal dan alih kode eksternal.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis alih kode yang terjadinya alih kode Semarang
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode di Exist’s Modelling Semarang.
Secara operasional,manfaat yang diharapkan dari penelitian ini manfaat teoritis dan manfaatpraktis.Manfaat,toritis yang diharapkan adalah memperkaya kajian sosiolinguistik khususnya tentang alih kode,serta dapat menghasilkan deskripsi mengenai jenis dan factor alih kode dalam kalangan model.
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah bagi pembaca,dapat menambah pemahaman berbagai bahasa didalam masyarakat,dan bagi peneliti lain dapat digunakan sebagai referensiawal dalam penelitian lain khususnya dibidang sosioliguistik.

4. Landasan Teori
Untuk mengupas fenomena alih kode secara terpenuhi dalam percakapan para model di Exist’s Modelling Semarang, maka penulis menggunakan teori-teori alih kode yang sudah ada seperti teori alih kode yang dikemukakan oleh Janet Holmes, Kridalaksana dan Soewito;
a. Alih Kode.
Menurut Kridalaksana (1993 : 9) alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran/situasi lain/karena ada partisipan lain.
Alih kode yang dikemukakan Nababan (1991:1) yaitu merupakan peristiwa pergantian bahasa/ragam bahasa tergantung pada keadaan/keperluan berbahasa.
Pada konteks tertentu, alih kode dapat terjadi pada saat kita berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat Soewito (1985:69) bahwa alih kode merupakan salah satu aspek tentang ketergantungan bahasa (language dependency). Artinya di dalam masyarakat yang multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa/unsur bahasa lain.
b. Jenis-jenis Alih Kode
Penulis ada kalanya mengganti unsur-unsur bahasa / tingkat tutur, hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa itu..
Menurut Soewito (1985:69-72) alih kode dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan bahasa yang menjadi sumbernya, yaitu :
1. Alih kode internal
Bahasa sumber dalam alih kode internal dapat dilihat dari sisi geografi bahasa hidup dalam wilayah politis (negara) yang sama, walaupun tak ada hubungan kekerabatan) dan genetis (bahasa yang sasarannya menunjukkan adanya hubungan kekerabatan).
2. Alih kode eksternal
Bahasa sumber dengan bahasa sasaran tidak ada hubungan baik secara genetis maupun geografis.
c. Faktor-faktor penunjang alih kode
Hymes seperti yang dikutip Renklema (1993 : 44) menggambarkan kelima belas unsur yang mempengaruhi dalam tindak berbahasa dan kaitannya dengan pemilihan ragam bahasa, yaitu :
Setting and Scene : Latar tempat, waktu, suasana, fisik dan psikologi tertentu, maupun dalam situasi formal/tidak normal.
Participants : penutur, pendengar, dan orang yang berada di sekitar tuturan tersebut dihasilkan
Ends (purpose dan goal) : tujuan dalam pertukaran informasi yang dilakukan.
Act (Sequences) : merupakan suatu peristiwa ketika seorang pembicara menggunakan kesempatan berbicara.
Key (tone of spirit of act) : nada/ragam bahasa yang dipakai dalam menyampaikan pendapatnya dan cara dalam mengemukakan pendapat tersebut apakah dengan nada serius / tidak serius.
Instrumentalities : macam bentuk bahasa dan alat yang digunakan baik itu secara lisan dan tertulis.
Norms (of interaction dan interpretation) : aturan yang berlaku pada suatu tindak tutur yang harus dipatuhi oleh setiap participan. Misalnya dalam suatu diskusi ada waktu kapan harus mendengar, berbicara, memerlukan dan mengeraskan suara.
Genres (bentuk dan ragam bahasa) : Jenis komunikasi / kegiatan yang mempunyai sifat lain dari jenis kegiatan lain, misalnya salam, pidato, drama, dan lain-lain.
Menurut Soepomo (1976 : 14) faktor-faktor yang menjadi penunjang terjadinya alih kode ada yaitu :
1. Pengaruh hadirnya seseorang
2. Pengaruh maksud si O1(pembicara)
3. Pengaruh keinginan mendidik O2 (lawan bicara)
4. Pengaruh ketidak mampuan penutur dengan kode yang sedang dipakainya / pengaruh relasi
5. Pengaruh keinginan menyesuaikan kode bahasa dengan kode bahasa yang dikuasai oleh O2
6. Pengaruh materi percakapan
7. Pengaruh situasi bicara
8. Belum adanya istilah/ujaran yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai dengan maksud yang ingin diungkapkannya.

5. Metode penelitian
Penelitian bersifat di deskriptif, karena untuk menggambarkan proses terjadi alih kode dalam percakapan para model Exist’s modelling di Semarang.
Populasi adalah objek dari suatu penelitian dalam penelitian bidang linguistik yang pada umumnya ialah keseluruhan individu-individu dari segi tertentu dalam suatu bahasa, dalam penelitian ini populasinya adalah semua percakapan para model Exist’s modelling yang terdiri dari 9 orang termasuk pemimpinannya berjumlah 28 percakapan, sedangkan dalam pengambilan sample, penulis mengambil data secara purposive (bertujuan), dimana data tersebut dipilah yang terdapat code switching (alih kode) dan jenis-jenis alih kode. Dari data yang ada, penulis menemukan 25 percakapan yang mengandung alih kode.
Dalam pemerolehan data, penulis menggunakan teknik dasar, yaitu teknik sedap (rekam) dari Sudaryanto (1993 : 133), kemudian dilanjutkan teknik simak libat cakap, karena penulis juga terlibat dalam percakapan, dan ujarannya pun ikut sebagai data. Sebagai kelanjutan dari teknik SLC, penulis melakukan teknik catat. Pada teknik catat ini penulis mencatat semua data yang telah terkumpul dan diklasifikasikan menuntut jenis dan faktor yang mendasari alih kode percakapan para model Exist’s modelling Semarang.
Sedangkan dalam menganalisa data penulis menggunakan deskriptive qualitative dan quantitative method. Deskriptive-qualitative digunakan dalam mengklasifikasikan data dan deskriptive qualitative digunakan untuk menjumlah presentative / frekuensi alih kode yang terjadi, sehingga dapat diketahui seberapa sering para partisipan melakukan alih kode.

6. Analisis Data
Data analisis ini, penulis memulai dari jenis-jenis alih kode kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi alih kode.
a. Jenis-jenis alih kode
Ada empat jenis alih kode yang terdapat dalam percakapan para model Exist’s modelling di Semarang, yaitu
1. Alih kode internal
Dalam hal ini, penutur menggunakan dua bahasa yaitu bahasa nasional (Indonesia) dan bahasa Ibu (Jawa). Dari data yang diperoleh, penulis menemukan 4 alih kode internal, yaitu alih kode dari Bahasa Indonesia ke Jawa (45%), bahasa Jawa ke Indonesia (25%), bahasa Jawa ngoko ke krama (20%), dan bahasa Jawa krama ke ngoko (10%). Berikut penjelasannya :
a. Alih kode dari bahasa Indonesia ke Jawa
(1) Candra : mas tanggal 9 jadi show di Hugo’s?
Bayu : sido tho ya !
(jadi)
Candra : tapi saya ada kuliah sampai jam 5
Bayu : yo rak popo, bar kuliah kowe langsungan ning Hugo’s.
(ya tidak apa-apa pulang kuliah langsung ke Hugo’s)
Eka : eh sama mas, aku juga ada kuliah
Candra : yo nek ngono bareng wae mbak ning Hugo’se
(kalau begitu, bareng saja mbak ke Hugo’s nya)
Percakapan diatas Candra melakukan alih kode dari bahasa Indonesia, pada saat dia bertanya pada pimpinannya, kemudian dia mengubah ke bahasa Jawa ketika berbicara pada temannya.
b. Alih kode dari bahasa Jawa ke Indonesia
(2) Damar : tanggal 30 boleh pinjem make upnya mbak ?
Eka : nggo opo tho, jeng? Meh kemider?
(Buat apa jeng ? Mau beredar ?)
Bayu : wis tho, ka ! disilehi wae, ojo mbok paido terus het mau !
[sudahlah ka ! kamu pinjemi, jangan kamu ejek terus tadi]
eka : Iya, besok aku antar ke rumahmu ya, jeng? Jangan nangis tho !
Diawal percakapan Eka menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan Damar, kemudian dua mengubah bahasa Indonesia, setelah Bayu, selaku pimpinan, ikut dalam percakapan mereka (Eka dan Damar)
c. Alih kode dari bahasa Jawa ngoko ke krama
(3) Mey : wah enak ya masakane ibu’e Candra
[wah endi ya, masakannya ibu Candra)
Eka : yo mesti, tapi nek sing masak Candra yo ancur
[ ya pasti, tapi kalau yang masak Candra, ya hancur]

Mey : Mas bayu, kadospundi, eco mboten ?
[mas bayu, bagaimana, enak tidak?]
Bayu : Yo enak banget ! ngeleh !
[ya enak banget ! lapar !]
Eka : sakestu mas
[setuju mas]
Eka dan Mey melakukan alih kode dari ngoko ke krama, mereka sama-sama melakkannya ketika berbicara pada bayu, selalu pimpinan.
d. Alih kode dari krama ke ngoko
(4) Toni : mas bayu enten sing madosi ting njawi !
[mas bayu ada yang mencari di luar]
Bayu : sopo ?
[siapa]
Toni : sopo mau jeng ? aku lali jenenge !
[siapa tadi jeng, aku lupa namanya]
Damar : ih ……. Mana ketehe gitu loh !
[ih……. Mana saya tahu !]
Pada saat Toni berbicara kepada bayu, dia menggunakan bahasa krama kemudian pada saat dia bertanya pada damar dia mengalihkodekan bahasanya ke bahasa ngoko.
2. Alih kode eksternal
Ada 2 jenis alih kode eksternal yang ditemukan dalam data, yaitu :
a. Alih kode dari bahasa Jawa ke Inggris
(5) Lita : piye, Ka, wis mbok bon ke klambine, ning Fashion House ?
[bagaimana, Ka, sudah kamu bon, baju yang ada di Fashion House ?]
Eka : pliz dech …. I don’t know, I think it’s your duty, right ?
[saya tidak tau, saya kira itu tugas kamu]
Lita : whats? Are you kidding ? oh my God, boss will angry with me!
[apa? Kamu bercanda ? ya ampun, boss akan marah sama saya!]
Dari percakapan diatas diketahui bahwa Lita saat berbicara dengan lawan tuturnya, Eka menggunakan bahasa Jawa, tetapi pada saat Eka menjawab dengan bahasa Inggris, Lita juga mengalihkode bahasa yang digunakan dengan bahasa Inggris.
b. Alih kode dari bahasa gaul ke bahasa Indonesia.
(6) Damar : Begindang ya jeng, kalo akika suruh jali-jali da mall durian, tar omprengan-omprengan masyarakat lekong-lekong pada sesong semua! Duh……..mawar bo!
Eka : Jangan sok keren gitu dech! Di obral aja gak laku!
Damar : ih……syirik banget sich masyarakat aku! Yach…… beginilah orang cuantik…..!
Damar menggunakan bahasa gaul, saat berbicara pada Eka, namun Eka menjawab dengan bahasa Indonesia, kemudian Damar ikut menggunakan bahasa Indonesia.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode.
Ada empat faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode; yaitu hadirnya orang ketiga, perubahan topik, solidaritas dan kesulitan dalam mengungkapkan kata / kalimat tertentu. Berikut penjelasannya:
1. Hadirnya orang ketiga.
Dengan perbedaan latar belakang maupun status, mempengaruhi seseorang untuk mengalih kode bahasanya. Berikut percakapan yang terpengaruh oleh hadirnya orang ketiga, dan percakapan ini terjadi di ruang makan.

(7) Candra : Mangan-mangan ! mangan sik ki lho!
[ makan-makan ! makan dulu!]
Eka : yo yo jeng, sik aku meh ning kamar mandi.
[ ya jeng, sebentar, saya mau ke kamar mandi]
[Bayu enters]
Candra : Mas Bayu sampun dhahar?
[ Mas Bayu sudah makan?]
Eka dan Candra mempunyai tingkatan/level yang sama, sehingga mereka menggunakan bahasa Jawa ngoko. Namun ketika Bayu selaku pimpinan mereka datang, Candra mengalih kodekan bahasanya ke bahasa jawa krama, karena Bayu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi darinya.
2. Perubahan topik.
Berubahnya topik pembicaraan bisa menyebabkan para tindak tutur mengubah bahasa yang dipakainya. Seperti percakapan berikut ini :
(8) Bayu : apa kabar dunia?
Models : tetep asyik.
Bayu : habis dapat gaji, disapa jawabnya asyik
Damar : lebih asyik lagi kalau pagi ini ada sarapanya!
Candra : cemekek wae!
[makanan terus]
Damar : heh asyik lho nguntal soto karo bergedel lekong!
[heh asyik lho makan soto sama bergedel laki-laki]
Bayu : wong edan!
[orang gila!]
Percakapan diatas menunjukkan adanya alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Awal percakapan partisipan menggunakan bahasa Indonesia dengan topik gaji, namun ketika topik berganti menjadi masalah makanan, mereka menggunakan bahasa Jawa.
3. Solidaritas.
Solidaritas dapat terjadi ketika antara si penutur dan lawan tutur memiliki persamaan latar belakang, atau status. Berikut percakapan yang terdapat solidaritas:
(9) Toni : ngenteni sopo mas?
[ nungguin siapa mas?]
Jaya : biasanya tho Pandu, ki tho Lita meh nyileh sepatu nggo bojone!
[ biasanya nunggu Pandu, ini Lita mau pinjam sepatu buat suaminya]
Toni : lha suaminya tidak diajak tho mbak?
Lita : dirumah kok
Ketika Toni berbicara pada Jaya, dia menggunakan bahasa Jawa (ngoko), kemudian dia mengubah bahasa Indonesia ketika bertanya pada Lita, karena Toni tidak terlalu dekat dengan kita, berbeda halnya dengan Jaya yang mempunyai tingkat/level yang sama dengannya.

4. Kesulitan dalam mengungkapkan suatu ekspresi.
Dalam pembicaraan kadang penutur ada kalanya susah untuk mengungkapkan suatu ekspresi, sehingga dia harus mengalih kodekan bahasanya. Seperti percakapan berikut:
(10) Mey : makan sehari lebih dari lima kali, gimana ngga gemuk!
Damar : biar aja gemuk so what?
Mey : tau rasa lu besok gemuk!
Damar mengubah bahasa Indonesia ke bahasa Inggris karena dia sulit menemukan ekspresi “so what” dapat bahasa Inggris.

7. Kesimpulan
Setelah mengupas jenis-jenis dan faktor-faktor yang mempengaruhi code switching (alih kode) dalam percakapan para model Exist’s modelling Semarang, maka dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis code switching (alih kode) yaitu alih kode internal dan alih kode eksternal dimana para penutur menggunakan bahasa Indonesia (bahasa Nasional), bahasa Jawa (bahasa lokal/mother tongue), bahasa Inggris dan bahasa gaul.
Dan ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode, yaitu hadirnya orang ketiga, perubahan topik dan kesulitan mengekspresikan sesuatu serta solidaritas, yang menunjukkan hubungan antar penutur.




DAFTAR PUSTAKA


Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. England Longman Group UK Limited.

Kridalaksana, harimurti. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Nababan. Sosiolinguistik. Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1975. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta : Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.

Soewito. 1983. Sosiolinguistik Pengantar Awal, Surakarta : Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Sudaryanto. 1988. Metode Dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.